Saturday, September 19, 2009

Hukum Melafazkan Niat Untuk Melakukan Amalan

Hukum Melafadzkan Niat
Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Syariah, Problema Anda, 21 - Oktober - 2004, 10:58:19


Apakah benar tidak ada bacaan khusus sebelum takbir (bacaan ushalli)?
Koko Wiharto - kok...@yahoo.com

Jawab:
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ
Memang benar demikian, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama yang sempurna ini. Sebagaimana diterangkan para ulama berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar yang diwarisi dari para shahabat (as-salaf ash-shalih) ridhwanullahi alaihim ajma’in.
1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/285): “Ketahuilah bahwa niat itu tempatnya di qalbu (hati), oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu)
Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh1, oleh karena itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah2 untuk mengucapkan:
اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا
“Ya Allah tuhanku, aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…”, baik secara jahr (keras) maupun sirr (pelan), karena hal ini tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam qalbu setiap orang. Maka engkau tidak perlu mengucapkan niatmu karena niat itu bukan dzikir sehingga (harus) diucapkan dengan lisan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya. Bahkan dalam ibadah haji pun seseorang tidak disunnahkan untuk mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Ya Allah, aku berniat untuk umrah atau aku berniat untuk haji.”
Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati. Oleh karena itu seseorang mengucapkan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا
“(Ya Allah), aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan umrah” atau “(Ya Allah) aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”

2. Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sail (hal. 27): “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ
“Katakanlah (wahai Nabi), apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama (amalan) kalian?” (Al-Hujurat: 16)
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari a’rabi (seorang Arab dusun) yang tidak benar cara shalatnya dengan sabdanya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
“Jika kamu bangkit (berdiri) untuk shalat maka bertakbirlah (yakni takbiratul ihram, pen).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Jadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…”3
Dan niat itu tempatnya di hati, berdasarkan hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu)
Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dalam kitab Al-Umm4 ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dalam kitab Al-Umm penyebutan tersebut.
Dan melafadzkan niat tidak ada sama sekali dalam ibadah apapun dalam agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: (لَبَّيْكَ حَجًّا), maka ada 2 kemungkinan:
1. Kata (حَجًّا) manshub5 sebagai mashdar (maf’ul muthlaq) yaitu (لَبَّيْكَ أَحُجُّ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”
2. Kata (حَجًّا) manshub sebagai maf’ul dari fi’il (نَوَيْتُ) yaitu (لَبَّيْكَ نَوَيْتُ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilanmu, aku berniat untuk haji.”
Namun ibadah ini (yaitu talbiyah) disamakan dengan ibadah-ibadah lainnya, maka kemungkinan yang pertama yang benar.6
3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata (Zadul Ma’ad, 1/201): “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan (اللهُ أَكْبَرُ), dan beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tidak pula mengatakan:
أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا
“Aku berniat shalat ini (dzuhur misalnya, pen) menghadap kiblat, empat rakaat, sebagai imam,” atau “sebagai makmum.”
Dan beliau tidak mengatakan:( أَدَاءً)7 atau (قَضَاءً)8, tidak pula (فَرْضَ الْوَقْتِ)9. Ini adalah 10 bid’ah10, tidak seorangpun yang menukilkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, atau dha’if (lemah), atau musnad (sanad yang bersambung) atau mursal (terputus sanadnya), satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tidak juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tidak seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik, dan tidak pula dari kalangan imam yang empat (Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad, pen).
Hanya saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin (orang-orang yang belakangan, pen) salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tidak sama dengan puasa, maka tidaklah seseorang mengawali shalatnya kecuali dengan dzikir,’ maka orang ini menyangka bahwa yang dimaksud adalah melafadzkan niat untuk shalat. Padahal yang dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adalah takbiratul ihram, bukan yang lainnya.”
Wallahu a’lam.


Keterangan
1 Karena Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.

2 Baik itu wudhu, shalat, puasa dan ibadah lainnya.

3 Atau “ushalli…”, sebagaimana yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita yang sangat jahil dengan agama ini.

4 Kitab karangan Al-Imam Asy-Syafi’i.

5 Istilah dalam ilmu nahwu.

6 Artinya bahwa talbiyah merupakan dzikir, dan bukan melafadzkan niat.

7 Artinya ibadah yang ditunaikan pada waktunya.

8 Artinya ibadah yang ditunaikan setelah waktunya berlalu.
9 Artinya shalat yang diwajibkan pada waktu itu, baik dzuhur, atau ashar dan lainnya.

10 Yaitu 10 lafadz kata yang disebutkan.


Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Menebar Pesona, Menuai Petaka

Menebar Pesona, Menuai Petaka
Penulis: Al Ustadzah
Sakinah, Mutiara Kata, 13 - Agustus - 2004, 02:52:21


Mutiara Kata


Menebar Pesona, Menuai Petaka

Atas nama "keindahan", fisik wanita telah dieksploitasi sedemikian rupa. Hampir tak ada ruang publik yang di dalamnya tidak ditonjolkan keindahan fisik (baca: aurat) kaum hawa. Televisi, internet, dan media cetak pun menjadi sarana yang sangat efektif untuk menebar pesonanya.

Bagi sebagian besar masyarakat, majalah, tabloid, buletin, dan semacamnya, telah menjadi kebutuhan bahkan tuntutan. Motif membacanya pun beragam. Ada yang berdalih untuk mengikuti perkembangan mode terkini, ada yang tak ingin ketinggalan dengan gosip terbaru tentang artis idolanya, sekedar mengikuti perkembangan jaman, dan sejuta dalih lainnya.
Namun tentu saja, tak setiap majalah membawa faidah. Karena, majalah dan sejenisnya itu ternyata menyimpan musibah. Di antaranya terpampangnya gambar-gambar, khususnya gambar wanita.
Tak bisa dipungkiri, lembaran-lembaran majalah dan semacamnya itu, seolah memang telah "mewajibkan" dimuatnya foto wanita, baik artis, bintang iklan, maupun tokoh lain, dalam berbagai pose. Bahkan majalah yang dikemas khusus untuk kaum pria pun tak ketinggalan menjajakan wanita sebagai daya tarik untuk memancing minat pembaca. Seolah media tersebut tak akan laku tanpa wanita. Lebih-lebih lagi gambar-gambar wanita yang dapat memancing bergolaknya syahwat.
Sungguh, keadaan yang demikian adalah musibah yang sangat mengerikan. Tersebarnya gambar yang semacam itu akan menggiring masyarakat pada kerusakan akhlak, sehingga perzinaan bukan lagi dianggap barang tabu.
Andaikan mereka mengingat lagi peringatan dari Rabb semesta alam ketika Dia berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
"Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan sejelek-jelek jalan." (Al-Isra: 32)

Dalam ayat ini Allah ta'ala berfirman, melarang hamba-hamba-Nya dari berbuat zina, mendekati perbuatan itu, dan melakukan hal-hal yang mendorong serta mengantarkannya kepada zina. Demikian diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/41)
Kalangan ulama pun turut berbicara tentang permasalahan majalah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah secara gamblang mengungkap, bagaimana sebenarnya keberadaan majalah-majalah yang ada pada masa ini. Di belahan lain, seorang muhaddits dari Negeri Yaman turut berbicara tentang permasalahan gambar secara khusus. Ketika disibak dan dirunut kembali lembaran-lembaran yang memuat pembicaraan mereka berdua, semogalah diraup banyak faidah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah pernah diminta fatwanya tentang majalah yang beredar di negerinya. Setelah dengan terpaksa membolak-balik dengan cepat dan sekilas isi majalah yang disodorkan kepada beliau -karena tidak mungkin beliau memberikan hukum tanpa tahu isinya- beliau menyatakan:
Aku dapatkan majalah-majalah ini –demi Allah– aku bersumpah dengan nama Allah di tempat ini, sedangkan kalian menjadi saksi. Dan Allah yang ada di atas kita menjadi saksi atas apa yang akan kukatakan dan atas apa yang kalian dengar, aku dapati majalah-majalah ini menghancurkan akhlak dan merusak umat. Seseorang yang berakal yang mau menelitinya tidak akan ragu terhadap keinginan pengedar majalah ini di tengah masyarakat muslimin.
Aku dapati setelah melihat sendiri, ternyata majalah ini lebih buruk daripada apa yang didengar. Kudapati dalam majalah ini, ucapan-ucapan rendah, hina, tidak ada rasa malu sama sekali, yang ucapan semacam itu bakal dimuntahkan oleh setiap orang yang memiliki akhlak yang lurus.
Aku melihat di sampulnya ada gambar-gambar wanita. Demikian pula di dalamnya ada gambar-gambar wanita yang akan menjerumuskan ke jurang fitnah dengan berbagai penampilan mode yang rendah, yang menenggelamkan dalam kerendahan dan dapat menggerakkan syahwat orang yang tidak memiliki syahwat sekalipun.
Aku dapatkan pula gambar kemasan-kemasan rokok yang mengajak manusia untuk mengisapnya, dan aku dapatkan pula kemungkaran-kemungkaran yang besar dan keji selain itu…."
Sedemikian buruknya keadaan majalah-majalah tersebut, hingga beliau juga menyatakan:
Aku menyeru kalian untuk menjaga agama dan akhlak kalian. Aku menyeru kalian untuk menjauh dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Aku memperingatkan kalian agar tidak memasukkan koran dan majalah yang penuh dengan gambar yang membuat fitnah, sarat dengan kata-kata yang menyesatkan, dan mode-mode yang menyimpang, ke dalam rumah kalian, hingga koran dan majalah itu jatuh ke tangan anggota keluarga kalian. Akibatnya, koran dan majalah itu akan membinasakan dan merusak akhlak mereka. Segala sesuatu yang dipampangkan dalam koran dan majalah ini, akan memberi pengaruh terhadap orang yang mengumpulkannya dalam keadaan ia senang dengannya dan dengan pemikiran yang disebarkan dalam majalah itu.
Wahai kaum mukminin, keberadaan majalah dan koran di dalam rumah akan mencegah masuknya malaikat ke dalam rumah, karena malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar. Lalu bagaimana persangkaanmu tentang rumah yang tidak dimasuki malaikat?
Oleh karena itu, mengumpulkan majalah seperti ini haram hukumnya, haram menjual dan membelinya, haram mencari keuntungan dengannya, haram pula menghadiahkannya dan menerimanya sebagai hadiah. Setiap upaya yang membantu penyebarannya di kalangan muslimin haram, karena perbuatan demikian termasuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
Allah ta'ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan." (Al-Maidah: 2)
(Dari khutbah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah yang dibukukan dengan judul Fitanul Majallat)
Gambar-gambar makhluk bernyawa yang dimuat di majalah atau media lain merupakan salah satu musibah. Seolah-olah suatu hal yang lumrah bila majalah dihiasi dengan gambar semacam itu. Sementara telah jelas haramnya gambar-gambar makhluk bernyawa, sebagaimana dikatakan oleh Jabir radhiallahu 'anhu:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصُّوْرَةِ فِي البَيْتِ وَنَهَى أَنْ يُصْنَعَ ذَلِكَ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan melarang membuat gambar. (Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/168)
Yang termasuk dalam larangan ini adalah semua gambar makhluk hidup, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, yang tidak memiliki bayangan maupun yang memiliki bayangan (Hukmu Tashwir Dzawaatil Arwah, hal. 31, oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
"Setiap tukang gambar tempatnya di neraka. Dijadikan setiap gambar yang ia buat memiliki nyawa, kemudian gambar-gambar yang bernyawa itu mengadzabnya di jahannam."
Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma menyampaikan hadits ini kepada seorang tukang gambar, kemudian berkata, "Apabila mau tidak mau engkau harus menggambar, maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki ruh." (Shahih, HR. Muslim no. 2110)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah menjelaskan bahwa sebab-sebab dilarangnya menggambar makhluk yang memiliki ruh adalah:
1. Gambar demikian memalingkan peribadahan kepada Allah, karena pada akhirnya gambar tersebut akan diibadahi.
'Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan, "Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sakit, sebagian istri beliau membicarakan tentang gereja bernama Mariyah yang mereka lihat di Habasyah. Di antara istri beliau yang pernah ke negeri Habasyah adalah Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiallahu 'anhuma. Keduanya menceritakan keindahan gereja tersebut dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kepala beliau seraya berkata:

إِنَّ أُولَئُِكَ إِذَا كَانَ فِيْهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
"Apabila ada di kalangan mereka itu seorang shalih meninggal dunia, mereka membangun masjid di atas kuburannya, kemudian mereka membuat gambar orang shalih tersebut di dalam masjid yang dibangun. Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 427, 434, 1341, 3878 dan Muslim no. 528)
2. Gambar-gambar itu menandingi ciptaan Allah.
'Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke rumahku. Ketika itu aku menutup rakku dengan kain tipis yang bergambar. Maka ketika beliau melihatnya, beliau merobeknya dan wajah beliau pun berubah (marah). Beliau bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ
"Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyaingi ciptaan Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5954)
3. Gambar-gambar itu membuat fitnah
Majalah yang ada saat ini terkadang mendatangkan fitnah bagi seorang laki-laki apabila ia melihat gambar wanita-wanita telanjang di dalamnya, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ فِيْكُمْ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرَّجُلِ مِنَ النِّسَاءِ
"Tidaklah aku tinggalkan di antara kalian sepeninggalku nanti fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)
Demikian pula bila laki-laki melihat wanita di televisi, internet, atau melalui handphone yang dapat mengirimkan gambar, ataupun media lainnya yang disiapkan oleh musuh-musuh Islam untuk menebarkan fitnah di kalangan kaum muslimin agar berpaling dari agama mereka. Karena memang setiap kali manusia bosan terhadap sebuah piranti teknologi, maka musuh-musuh Islam ini mendatangkan alat lain yang lebih canggih. Oleh sebab itulah gambar yang tersebar di media cetak, audio visual, dan alat-alat mutakhir lainnya, diharamkan.
Yang dikecualikan dari pengharaman gambar ini hanyalah permainan boneka anak kecil yang terbuat dari kain perca dan kapas, sebagaimana permainan 'Aisyah radhiallahu 'anha berupa seekor kuda bersayap. Adapun yang terbuat dari plastik, maka tidak termasuk dalam kebolehan tersebut. (Dinukil secara ringkas dari Hukmu Tashwiir Dzawaatil Arwah)
Adapun bila gambar itu tidak memiliki kepala, maka bukan termasuk makhluk hidup, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika mendapatkan gambar atau patung makhluk hidup, beliau memotong kepalanya. (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (8/90), Abu Dawud dalam Sunan-nya (11/213), dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Hukmu Tashwiir Dzawaatil Arwah, hal. 52)
Selain itu, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu juga meriwayatkan:

أَنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَرَفَ صَوْتَهُ فَقَالَ : اُدْخُلْ. فَقَالَ: إِنَّ فِي البَيْتِ سِتْرًا فِي الحَائِطِ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ فَاقْطَعُوا رُئُوْسَهَا فَاجْعَلُوْا بِسَاطًا أَوْ وَسَائِدَ فَأَوْطَأْهَا فَإِنَّا لاَ نَدْخُلُ بَيْتًا فِيْهِ تَمَاثِيْلَُ
Jibril 'alaihis salam datang, lalu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi mengenali suaranya. Beliau berkata, "Masuklah." Jibril menjawab, "Sesungguhnya di dalam rumah ini ada satir (penutup) tembok yang bergambar makhluk hidup, maka potonglah kepalanya , lalu jadikan kain satir itu hamparan atau bantal untuk diinjak, karena kami tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar makhluk hidup." (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 8065. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad (2/346) berkata: 'Hadits ini shahih dan rijalnya rijal shahih.')
Dalam hadits di atas terdapat dalil di mana gambar-gambar yang dihinakan harus telah dipotong kepalanya hingga menyerupai pohon. Juga kita dapatkan dalil lain yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menolak untuk masuk ke rumah 'Aisyah radhiallahu 'anha ketika beliau melihat di dalamnya ada dua bantal bergambar makhluk hidup, hingga beliau menyobek gambar tersebut. (Hukmu Tashwiir Dzawaatil Arwah, catatan kaki hal. 53)
Demikianlah pada akhirnya, diakui ataupun tidak, nampaklah bagi setiap orang yang menyimak ucapan dua ulama di atas tentang keberadaan majalah yang banyak tersebar di tangan kaum muslimin sekarang ini. Apa pun dalih bagi kalangan yang menentangnya, namun sesungguhnya kebenaran itu tidak akan sirna selamanya.
(Dinukil secara ringkas oleh Ummu 'Abdirrahman Anisah bintu 'Imran dari tulisan Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari yang berjudul Kedudukan Media Massa dalam Syariat Islam)

Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Siapa Saja Mahram Itu?

Siapa Saja Mahram itu?
Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Syariah, Problema Anda, 12 - Agustus - 2004, 10:46:57


Siapa Saja Mahram itu?

Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah.
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.
Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).
Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita

Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta'ala:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…" (An-Nisa: 23)
Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta'ala:
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
"Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan." (An-Nisa 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu':
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
"Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan." (Muttafaqun 'alaihi dari Ibnu 'Abbas), keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
"Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya." (Al-Baqarah: 233)

Dan Hadits 'Aisyah radhiallahu 'anha muttafaqun 'alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.

Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima' (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima', dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullahu.
Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.
Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.
Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ
"Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama)." (An-Nisa: 23)
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu muttafaqun 'alihi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a'lam bish-shawab.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa'di, Syarhul Mumti', 5/168-210)




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com